Artikel TRI KAYA PARISUDA





Pendahuluan
Pada dasarnya sesuai dengan siklus “rwabhineda” perbuatan manusia dapat ditinjau dari dua sisi/dimensi yang berbeda, yaitu antara perbuatan yang baik (subha karma) dan perbuatan yang tidak baik/buruk (asubha karma). Perputaran/siklus subha dan asubha karma ini selalu saling bertautan dan silih berganti satu sama lainnya dan tidak dapat dipisahkan.
Demikianlah sikap dan prilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang berbeda itu, sehingga patut dengan kesadaran budhi nuraninya (manusia) harus dapat menggunakan kemampuan berpikirnya kearah yang lebih baik dan benar. Apabila manusia sebagai makhluk berpikir (punya manah) mau dan mampu mengarahkan pikirannya ke arah yang baik akan mengakibatkan ucapan dan perilakunya menjadi baik (subha karma). Sebaliknya apabila tidak mampu mengarahkan pikiran (mengendalikannya) kearah yang baik, hal inilah mengakibatkan manusia berucap dan berbuat yang buruk (asubha karma). Sebagai manusia dengan kekiiatan idep/manah ini harus dengan cermat dapat memilah dan memilih perbuatan baik sehingga tidak terjerembab dalam perbuatan buruk. Dalam Sarasamuscaya ditegaskan bahwa hakekat penjelmaan sebagai manusia adalah untuk rneningkatkan/menyempurnakan diri dari perbuatan buruk (asuba karma) menjadi perbuatan baik (subha karma).
“manusah sarwabhutesu, vartate vai subhasubhe asubhesu samavistam, subhesveva văkărayet”
 (Sarasamuscaya, 2).
Artinya:
Di antara semua makhluk hidup hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat berbuat baik ataupun buruk, Leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan buruk itu; Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.
Apa yang diuraikan dan dijelaskan pada sloka tersebut di atas adalah tugas utama atau hakekat penjelmaan sebagai manusia, untuk melebur perbuatan buruk (asubha karma) menjadi perbuatan baik (subha karma). Hanya dengan berbuat baiklah manusia menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang utama, sebagaimana disuratkan dalam Sarasamuscaya 4 sebagai berikut:
“Apan iking dadi wwang uttama juga ya, nimittaning mangkana wenang ya
tumulung awaknya sakeng sangsara, makasadhanang subha karma,
hinganing kottamaning dadi wwang ika”
Maksudnya:
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keutamaan/keuntungan dapat menjelma menjadi manusia.
Lantas bagaimana halnya bila seseorang tidak mau melaksanakan perbuatan baik? Orang yang demikian itu dianggap (bagaikan) orang sakit (penyakit) yang menjadi obat neraka loka dan apabila meninggal dunia, maka ia dianggap sebagai orang sakit yang pergi ke suatu tempat dimana tidak ada obat-obatan yang mengakibatkan selalu dalam penderitaan yang membara.
Oleh karena itu usahakanlah selalu secepatnya berbuat yang baik (subha karma).

Pengertian Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha yang menjadi konsentrasi pembahasan kali ini adalah merupakan salah satu aplikasi dan perbuatan baik (subha karma). tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci (Manacika), berkata yang benar (Wacika) dan berbuat yang jujur (Kayika). Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku; sedangkan Parisudha berarti "upaya penyucian".Jadi "Trikaya-Parisudha berarti "upaya pembersihan/penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku kita".
Bagian-Bagian Tri Kya Parisudha
1        Penyucian Pikiran (Manacika)
Inilah tindakan yang harus diprioritaskan, karena pada dasarnya semua hal bermula disini. Ia menjadi dasar dari prilaku kita yang lainnya (perkataan dan perbuatan); dari pikiran yang murni akan terpantul serta terpancarkan sinar yang menyejukan orang-orang disekitar kita, sebaliknya pikiran keruh akan meruwetkan segala urusan kita, walaupun sebenarnya tak perlu seruwet itu. Tentu ruwet tidaknya suatu permasalahan, amat tergantung pada cara kita memandang serta cara kita menyikapinya.  
Bila pandangan kita sempit dan gelap, semuanya akan menjadi sumpek dan pengap. Sebaliknya bila pandangan kita terang, segala hal akan tampak jelas sejelas-jelasnya. Ibarat mengenakan kacamata, penampakan yang diterima oleh mata amat tergantung pada kebersihan, warna bahan lensanya, serta kecangihan dari bahan lensanya. Jadi, apapun adanya suatu keberadaan, memberikan pancaran objektif bagi kita, namun kita umumnya tidak dapat menangkapnya dengan objektif.  Pandangan kotor akan menampakkan objek kotor dan tidak murni dimata kita. Apabila cara pandang serupa itu kita gunakan memandang berbagai fenomena hidup dan kehidupan, tentu hidup kita menjadi ruwet, menimbulkan duka-nestapa, serta berbagai kondisi-kondisi pikiran negatif. Hal inilah yang terjadi dalam pikiran kita. Pikiran kita menjadi kotor dan suram pandangan kita sendiri. Untuk itu hanya kita sendiri yang dapat membersihkannya. Hal ini dalam Hindu disebutkan :"tak ada makhluk dari alam manapun yang dapat menyucikan batin kita, apabila kita sendiri tidak bergerak dan berupaya kearah itu, terlebih benda-benda materi, tentu tak mungkin menyucikan siapa-siapa".
Untuk menyucikan pikiran, perlu memperbaiki pandangan terlebih dahulu. Untuk memperbaiki pandangan, diperlukan pemahaman yang baik dan mencukupi tentang falsafah ajaran agana yang dapat dipelajari dari kitab suci dan bimbingan guru. Melalui hal tersebut, banyak kegelapan dan kegalauan batin kita menjadi sirna, terbitnya cahaya terang dalam batin melalui bimbingan beliau, membantu mempercepat proses menuju tujuan akhir.  
Tiga macam implementasi pengendalian pikiran dalam usaha untuk menyucikannya, disebutkan di dalam Saracamuscaya, adalah:
a.       Tidak menginginkan sesuatu yang tidak layak atau halal.
b.      Tidak berpikiran negatif terhadap makhluk lain.
c.       Tidak mengingkari hukum karma phala.
Demikianlah disebutkan didalam salah satu Kitab Suci umat Hindu, bila kita cermati inti dari tiga hal di atas adalah bahwa dengan faham karma phala sebagai hukum pengatur yang bersifat universal, dapat membimbing mereka, yang meyakininya untuk berpola pikir yang benar dan suci.

2           Penyucian Perkataan (Wacika)
Terdapat empat macam perbuatan melalui perkataan yang patut di kendalikan, yaitu:
a.       Tidak suka mencaci maki.
b.      Tidak berkata-kata kasar pada siapapun.
c.       Tidak menjelek-jelekan, apalagi memfitnah makhluk lain.
d.      Tidak ingkar janji atau berkata bohong.
Demikianlah disebutkan dalam Sarasamuscaya; kiranya jelas bagi kita bahwa betapa sebetulnya semua tuntunan praktis bagi pensucian batin telah tersedia. Kita harus dapat menerapkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
3           Penyucian Perbuatan Fisik Dan Perilaku (Kayika)
Terdapat tiga hal utama yang harus dikendalikan, yaitu:
a.       Tidak menyakiti, menyiksa, apalagi membunuh-bunuh makhluk lain.
b.      Tidak berbuat curang, sehingga berakibat merugikan siapa saja.
c.       Tidak berjinah atau yang serupa itu.
 Ketiga prihal tersebut di atas hendaknya jangan dilakukan baik dalam bersenda gurau, berolok-olok, keadaan darurat maupun dalam keadaan dirundung malang sekalipun. Dalam sloka 77 dipertegas bahwa ketiga hal itu (berpikir, berkata, dan berbuat) membuat orang dikenal dan akan sangat menarik perhatian orang untuk mengetahui kepribadian seseorang. Oleh karena itu hendaklah yang baik itu selalu dibiasakan dalam laksana, perkataan dan pikiran.
“Wasita minittanta manêmu laksmi, Wasita minittanta pati kapangguh, Wasita minittanta manému dukha, Wasita minittanta menemu mitra”
Maksudnya :
Oleh perbuatan/ucapan engkau akan mendapatkan bahagia, oleh perkataan/ucapan engkau menda patkan kematian/kehancuran, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan kesusahan/kesedihan, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan sahabat/ kawan.

Cermati Contoh-Contoh Nyata Di Semua Asfek

a.         Dalam bidang ekonomi
Betapa pentingnya negosiasi-negosiasi dalam ucapan atau pembahasan dialog-dialog yang memecahkan permasalahan ekonomi. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana, walaupun kita, membawa uang atau punya uang tanpa kita ngomong/berucap “saya mau beli sesuatu? Apakah kita diberikan sesuatu itu oleh penjualnya?

b.      Dalam bidang sosial kemasyarakatan
Orang bersengketa/berselisih bisa didamaikan dengan berdialog yang tentunya dilandasi dengan hati dan pikiran yang dingin dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan (paras-paros, asah-asih-asuh, selunglung sabayantaka).

c.       Dalam budaya
Peranan ucapan sangat penting lebih-lebih menyangkut seni dan sastra dan bahasa. Dengan kekuatan seni sastra dan budaya akan mampu membuat seseorang terinspirasi, termotivasi serta tunduk dengan penintah seseorang. Bung Karno dengan kemampuan oratornya bisa membangkitkan semangat bangsa Indonesia. Para Maha Rsi dengan sutra-sutranya dan ucapan/warah-warahnya menyebabkan para sisya-nya tunduk dan bhakti serta melaksanakan segala perintah/ajarannya. Hal tersebut di atas (ajaran para Rsi) jelas sebagai sumber ajaran agama yang sangat penting dalam menuntun dan mengarahkan hidup dan kehidupan ini.

d.      Dalam dunia politik termasuk keamanan dan pertahanan
Sangat dominan dialog-dialog itu dilaksanakan dalam memecahkan segala persoalan. Sehingga nyambung dengan pepatah “Bulatnya air dalam pembuluh, bulatnya kata dalam mufakat”. Disini perlu adanya musyawarah dalam mencapai kata mufakat. Dalam musyawarah perlu adanya keluwesan, saling mengalah dan tidak bersikukuh pada ego masing-masing


0 komentar:

Posting Komentar