Pendahuluan
Pada dasarnya sesuai dengan siklus “rwabhineda” perbuatan
manusia dapat ditinjau dari dua sisi/dimensi yang berbeda, yaitu antara
perbuatan yang baik (subha karma) dan perbuatan yang tidak baik/buruk (asubha
karma). Perputaran/siklus subha dan asubha karma ini selalu saling bertautan
dan silih berganti satu sama lainnya dan tidak dapat dipisahkan.
Demikianlah sikap dan prilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang berbeda itu, sehingga patut dengan kesadaran budhi nuraninya (manusia) harus dapat menggunakan kemampuan berpikirnya kearah yang lebih baik dan benar. Apabila manusia sebagai makhluk berpikir (punya manah) mau dan mampu mengarahkan pikirannya ke arah yang baik akan mengakibatkan ucapan dan perilakunya menjadi baik (subha karma). Sebaliknya apabila tidak mampu mengarahkan pikiran (mengendalikannya) kearah yang baik, hal inilah mengakibatkan manusia berucap dan berbuat yang buruk (asubha karma). Sebagai manusia dengan kekiiatan idep/manah ini harus dengan cermat dapat memilah dan memilih perbuatan baik sehingga tidak terjerembab dalam perbuatan buruk. Dalam Sarasamuscaya ditegaskan bahwa hakekat penjelmaan sebagai manusia adalah untuk rneningkatkan/menyempurnakan diri dari perbuatan buruk (asuba karma) menjadi perbuatan baik (subha karma).
Demikianlah sikap dan prilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang berbeda itu, sehingga patut dengan kesadaran budhi nuraninya (manusia) harus dapat menggunakan kemampuan berpikirnya kearah yang lebih baik dan benar. Apabila manusia sebagai makhluk berpikir (punya manah) mau dan mampu mengarahkan pikirannya ke arah yang baik akan mengakibatkan ucapan dan perilakunya menjadi baik (subha karma). Sebaliknya apabila tidak mampu mengarahkan pikiran (mengendalikannya) kearah yang baik, hal inilah mengakibatkan manusia berucap dan berbuat yang buruk (asubha karma). Sebagai manusia dengan kekiiatan idep/manah ini harus dengan cermat dapat memilah dan memilih perbuatan baik sehingga tidak terjerembab dalam perbuatan buruk. Dalam Sarasamuscaya ditegaskan bahwa hakekat penjelmaan sebagai manusia adalah untuk rneningkatkan/menyempurnakan diri dari perbuatan buruk (asuba karma) menjadi perbuatan baik (subha karma).
“manusah
sarwabhutesu, vartate vai subhasubhe asubhesu samavistam, subhesveva văkărayet”
(Sarasamuscaya, 2).
(Sarasamuscaya, 2).
Artinya:
Di antara semua makhluk hidup hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat berbuat baik ataupun buruk, Leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan buruk itu; Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.
Di antara semua makhluk hidup hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat berbuat baik ataupun buruk, Leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan buruk itu; Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.
Apa yang diuraikan dan dijelaskan pada sloka tersebut di
atas adalah tugas utama atau hakekat penjelmaan sebagai manusia, untuk melebur
perbuatan buruk (asubha karma) menjadi perbuatan baik (subha karma). Hanya
dengan berbuat baiklah manusia menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang
utama, sebagaimana disuratkan dalam Sarasamuscaya 4 sebagai berikut:
“Apan
iking dadi wwang uttama juga ya, nimittaning mangkana wenang ya
tumulung awaknya sakeng sangsara, makasadhanang subha karma,
hinganing kottamaning dadi wwang ika”
tumulung awaknya sakeng sangsara, makasadhanang subha karma,
hinganing kottamaning dadi wwang ika”
Maksudnya:
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keutamaan/keuntungan dapat menjelma menjadi manusia.
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keutamaan/keuntungan dapat menjelma menjadi manusia.
Lantas bagaimana halnya bila seseorang tidak mau
melaksanakan perbuatan baik? Orang yang demikian itu dianggap (bagaikan) orang
sakit (penyakit) yang menjadi obat neraka loka dan apabila meninggal dunia,
maka ia dianggap sebagai orang sakit yang pergi ke suatu tempat dimana tidak
ada obat-obatan yang mengakibatkan selalu dalam penderitaan yang membara.
Oleh karena itu usahakanlah selalu secepatnya berbuat yang baik (subha karma).
Pengertian Tri Kaya Parisudha
Oleh karena itu usahakanlah selalu secepatnya berbuat yang baik (subha karma).
Pengertian Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha yang menjadi
konsentrasi pembahasan kali ini adalah merupakan salah satu aplikasi dan
perbuatan baik (subha karma). tiga gerak perilaku manusia yang
harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci (Manacika), berkata yang
benar (Wacika) dan berbuat yang jujur (Kayika). Dari tiap arti kata di
dalamnya, Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau
prilaku; sedangkan Parisudha berarti "upaya penyucian".Jadi
"Trikaya-Parisudha berarti "upaya pembersihan/penyucian atas tiga
perbuatan atau prilaku kita".
Bagian-Bagian Tri Kya Parisudha
1
Penyucian Pikiran (Manacika)
Inilah tindakan yang harus
diprioritaskan, karena pada dasarnya semua hal bermula disini. Ia menjadi dasar
dari prilaku kita yang lainnya (perkataan dan perbuatan); dari pikiran yang
murni akan terpantul serta terpancarkan sinar yang menyejukan orang-orang
disekitar kita, sebaliknya pikiran keruh akan meruwetkan segala urusan kita,
walaupun sebenarnya tak perlu seruwet itu. Tentu ruwet tidaknya suatu
permasalahan, amat tergantung pada cara kita memandang serta cara kita
menyikapinya.
Bila pandangan kita sempit dan gelap,
semuanya akan menjadi sumpek dan pengap. Sebaliknya bila pandangan kita terang,
segala hal akan tampak jelas sejelas-jelasnya. Ibarat mengenakan kacamata,
penampakan yang diterima oleh mata amat tergantung pada kebersihan, warna bahan
lensanya, serta kecangihan dari bahan lensanya. Jadi, apapun adanya suatu
keberadaan, memberikan pancaran objektif bagi kita, namun kita umumnya tidak dapat
menangkapnya dengan objektif. Pandangan
kotor akan menampakkan objek kotor dan tidak murni dimata kita. Apabila cara
pandang serupa itu kita gunakan memandang berbagai fenomena hidup dan
kehidupan, tentu hidup kita menjadi ruwet, menimbulkan duka-nestapa, serta
berbagai kondisi-kondisi pikiran negatif. Hal inilah yang terjadi dalam pikiran
kita. Pikiran kita menjadi kotor dan suram pandangan kita sendiri. Untuk itu
hanya kita sendiri yang dapat membersihkannya. Hal ini dalam Hindu disebutkan :"tak
ada makhluk dari alam manapun yang dapat menyucikan batin kita, apabila kita
sendiri tidak bergerak dan berupaya kearah itu, terlebih benda-benda materi,
tentu tak mungkin menyucikan siapa-siapa".
Untuk menyucikan pikiran, perlu
memperbaiki pandangan terlebih dahulu. Untuk memperbaiki pandangan, diperlukan
pemahaman yang baik dan mencukupi tentang falsafah ajaran agana yang dapat
dipelajari dari kitab suci dan bimbingan guru. Melalui hal tersebut, banyak
kegelapan dan kegalauan batin kita menjadi sirna, terbitnya cahaya terang dalam
batin melalui bimbingan beliau, membantu mempercepat proses menuju tujuan
akhir.
Tiga macam implementasi pengendalian
pikiran dalam usaha untuk menyucikannya, disebutkan di dalam Saracamuscaya,
adalah:
a. Tidak
menginginkan sesuatu yang tidak layak atau halal.
b. Tidak
berpikiran negatif terhadap makhluk lain.
c. Tidak
mengingkari hukum karma phala.
Demikianlah disebutkan didalam salah
satu Kitab Suci umat Hindu, bila kita cermati inti dari tiga hal di atas adalah
bahwa dengan faham karma phala sebagai hukum pengatur yang bersifat universal,
dapat membimbing mereka, yang meyakininya untuk berpola pikir yang benar dan
suci.
2
Penyucian
Perkataan (Wacika)
Terdapat
empat macam perbuatan melalui perkataan yang patut di kendalikan, yaitu:
a. Tidak
suka mencaci maki.
b. Tidak
berkata-kata kasar pada siapapun.
c. Tidak
menjelek-jelekan, apalagi memfitnah makhluk lain.
d. Tidak
ingkar janji atau berkata bohong.
Demikianlah disebutkan dalam
Sarasamuscaya; kiranya jelas bagi kita bahwa betapa sebetulnya semua tuntunan
praktis bagi pensucian batin telah tersedia. Kita harus dapat menerapkannya
sesuai dengan kemampuan masing-masing.
3
Penyucian
Perbuatan Fisik Dan Perilaku (Kayika)
Terdapat tiga
hal utama yang harus dikendalikan, yaitu:
a. Tidak
menyakiti, menyiksa, apalagi membunuh-bunuh makhluk lain.
b. Tidak
berbuat curang, sehingga berakibat merugikan siapa saja.
c. Tidak
berjinah atau yang serupa itu.
Ketiga prihal tersebut di atas hendaknya
jangan dilakukan baik dalam bersenda gurau, berolok-olok, keadaan darurat
maupun dalam keadaan dirundung malang sekalipun. Dalam sloka 77 dipertegas
bahwa ketiga hal itu (berpikir, berkata, dan berbuat) membuat orang dikenal dan
akan sangat menarik perhatian orang untuk mengetahui kepribadian seseorang.
Oleh karena itu hendaklah yang baik itu selalu dibiasakan dalam laksana,
perkataan dan pikiran.
“Wasita minittanta manêmu laksmi, Wasita
minittanta pati kapangguh, Wasita minittanta manému dukha, Wasita minittanta
menemu mitra”
Maksudnya
:
Oleh
perbuatan/ucapan engkau akan mendapatkan bahagia, oleh perkataan/ucapan engkau
menda patkan kematian/kehancuran, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan
kesusahan/kesedihan, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan sahabat/ kawan.
Cermati
Contoh-Contoh Nyata Di Semua Asfek
a.
Dalam bidang ekonomi
Betapa pentingnya
negosiasi-negosiasi dalam ucapan atau pembahasan dialog-dialog yang memecahkan
permasalahan ekonomi. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana, walaupun kita,
membawa uang atau punya uang tanpa kita ngomong/berucap “saya mau beli sesuatu?
Apakah kita diberikan sesuatu itu oleh penjualnya?
b.
Dalam bidang sosial kemasyarakatan
Orang bersengketa/berselisih bisa
didamaikan dengan berdialog yang tentunya dilandasi dengan hati dan pikiran
yang dingin dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan (paras-paros,
asah-asih-asuh, selunglung sabayantaka).
c.
Dalam budaya
Peranan ucapan sangat penting
lebih-lebih menyangkut seni dan sastra dan bahasa. Dengan kekuatan seni sastra
dan budaya akan mampu membuat seseorang terinspirasi, termotivasi serta tunduk
dengan penintah seseorang. Bung Karno dengan kemampuan oratornya bisa
membangkitkan semangat bangsa Indonesia. Para Maha Rsi dengan sutra-sutranya
dan ucapan/warah-warahnya menyebabkan para sisya-nya tunduk dan bhakti serta
melaksanakan segala perintah/ajarannya. Hal tersebut di atas (ajaran para Rsi)
jelas sebagai sumber ajaran agama yang sangat penting dalam menuntun dan
mengarahkan hidup dan kehidupan ini.
d.
Dalam dunia politik termasuk
keamanan dan pertahanan
Sangat dominan dialog-dialog itu dilaksanakan dalam
memecahkan segala persoalan. Sehingga nyambung dengan pepatah “Bulatnya air
dalam pembuluh, bulatnya kata dalam mufakat”. Disini perlu adanya musyawarah
dalam mencapai kata mufakat. Dalam musyawarah perlu adanya keluwesan, saling
mengalah dan tidak bersikukuh pada ego masing-masing
0 komentar:
Posting Komentar